KONSEP KEADILAN SOSIAL DALAM KASUS ZAKAT DI MASYARAKAT MUSLIM
Zakat memiliki etimologi yang berarti berkembang dan meningkat, Zakaa az zar‟u adalah bahasa arab yang berarti berkembang dan meningkat. Zakat juga di makna sebagai nafaqatu saat nafaqah atau biaya hidup diridhai. Zakat juka dapat di artikan sebagai suci. Makna zakat yang terkandung dalam hadis Rasulullah Saw. Termasuk yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Muslim belum memberikan definisi yang jelas, shadaqah yang dapy di artikan sebagai sumbangan cuma-cuma, dan infaq yang dapat di artikan membelanjakan individu serta saudara, ternyata istilah shadaqah lah yang mendominasi dari 72 nash hadits buku zakat. Mencari pengetahuan dengan cara membaca Al-Quran, kunjung menunaikan janji ( terutama kewajiban dari pada kesenangan). Hanya terdapat 6 buah kata zakat dalam nash hadis Shahih Bukhari dan Muslim.
Zakat sebagai hak tertentu yang diwajibkan oleh Allah Swt. Kepada seluruh umat isam atas harta yang telah diberikan kepada fakir miskin dan mustahiq lainnya. Hal ini dilakukan sebagaimana salah satu cara untuk menunjukan rasa syukur atas nikmat yang Allah berikan, medekatkan diri kepada Allah, serta membersihkan diri dan harta benda yang telah dimiliki. Dan juga pengembangan atas harta benda yang telah di miliki. Kutipan Angga Syahputra dari pendapat Asnain berdasarkan Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang No.23 Tahun 2011 tentang pengelolaan zakat,telah disebutkan bahwa zakat adalah harta yaang seharusnya wajib di keluarkan oleh umat muslim ataupun benda usaha untuk diberikan kepada yang berhak menerima sesuai dengan syariat islam. Bagi berbgai makna dari pengertian zakat dn banyak ta‟rif yang diberikan oleh para pakar, unsur-unsur yang ada dalam zakat merupakan harta yang dipungut, dasarharta serta subjek penerima zakat.
Didalam konteks zakat secara khusus, keadilan dalam distribusi zakat dapat terlihat dari perspektif ekonomi makro, Dalam hal zakat, keadilan dalam penyalurannya dapat dilihat dari perspektif ekonomi makro, karena zakat dapat memberikan bagian dari pendapatan orang kaya kepada kelompok ekonomi yang lebih lemah. Dengan langkah ini, akan ada peningkatan permintaan untuk barang dan jasa dari kelompok miskin, yang biasanya memiliki kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, dan papan. Peningkatan permintaan ini akan mempengaruhi komposisi produksi barang dan jasa ekonomi, yang pada gilirannya akan mengarahkan sumber daya ke sektor-sektor yang diinginkan secara sosial.
Pada esensinya, zakat yang diberikan dengan cara yang adil, benar, dan merata akan memainkan peran yang sangat penting dalam tarbiyah ruhaniyah. Ini akan menyebabkan keadilan sosial dan pertumbuhan ekonomi yang sehat dan pesat. Salah satu tanggung jawab utama pemerintah adalah membebaskan masyarakat dari kemiskinan dengan cara yang adil. Di sini, adil tidak berarti bahwa semua komunitas harus hidup dalam keadaan kaya; sebaliknya, distribusi pendapatan harus benar-benar merata dan memungkinkan orang-orang yang memiliki ekonomi lemah untuk menikmatinya.
Bahasa Arab berasal dari kata "adl", yang berarti "sama". Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), "adil" berarti "tidak berat sebelah", "berpihak pada kebenaran", dan "berbuat sepatutnya". Menurut Yasir Nasution, adil adalah memberikan hak kepada orang yang berhak.
Menurut ushul fiqh, kata al-„adl merupakan perintah langsung yang semua pihak harus ikuti. Para ulama tahu bahwa adil menempatkan sesuatu pada tempatnya. Adal menunjukkan sesuatu dalam kondisi persamaan, tetapi tidak selalu sama secara kuantitas.
Menurut Aristoteles, keadilan dalam teknik distribusi terkait dengan fungsi dan peran masing-masing individu dalam masyarakat. Dalam perspektif Islam, distribusi dapat didefinisikan sebagai peningkatan dan pembagian hasil kekayaan dengan tujuan meningkatkan sirkulasi kekayaan, sehingga kekayaan dapat dibagikan secara merata daripada hanya diberikan kepada kelompok tertentu. Zakat yang didistribusikan secara adil merupakan komponen penting dari ekonomi Islam karena berkaitan dengan penerapan prinsip keadilan dan keseimbangan dalam pembagian sumber daya yang dapat diperoleh masyarakat.
Dapat mengambil kesimpulan bahwa keadilan dalam penyaluran zakat adalah ketika ada situasi yang tidak memihak pada satu pihak atau golongan tertentu, yang mewujudkan bentuk keadilan. Dalam konsep penyaluran, keadilan adalah bentuk keadilan yang dihasilkan dari pembagian, pemberian, dan pertukaran sumber daya yang diberikan seseorang kepada orang lain atau dari kelompok atau lembaga lain.
Menurut fikih, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi sebelum seseorang dianggap mustahiq untuk menerima zakat. Di antaranya Mereka tidak harus dinafkahi, tidak dapat bekerja, tidak berada di daerah yang menghasilkan zakat, atau berasal dari keturunan Bani Hasyim atau Bani Muthalib. Dalam konteks Umar bin Khattab, wilayah di mana zakat dikumpulkan lebih diutamakan untuk orang-orang yang membutuhkan, sehingga zakat dapat disalurkan ke daerah lain ketika hal-hal menjadi sulit atau tidak ada lagi orang yang akan menerimanya.
Penerapan keadilan dalam penyaluran zakat berkaitan dengan upaya pemerintah atau Badan Amil Zakat untuk memberikan manfaat yang lebih luas dari hasil pengumpulan zakat melalui sistem distribusi yang efisien dan serbaguna. Untuk mencapai tujuan ini, diperlukan perencanaan, bimbingan, dan pembinaan bagi sasaran zakat. Bab 3, Pasal 26 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2011 menyatakan bahwa pendistribusian zakat, sebagaimana dimaksud pada Pasal 25, dilakukan berdasarkan skala prioritas dengan mempertimbangkan prinsip pemerataan, keadilan, dan kewilayahan. Dengan demikian, pemerintah telah memastikan bahwa keadilan dalam penyaluran zakat telah sesuai dengan pasal. Namun demikian, penerapan pasal ini tentu masih belum terpenuhi sepenuhnya saat tindakan lanjut dilakukan.
Adal adalah mekanisme non ekonomi yang mesti ada dalam distribusi zakat. Dalam ekonomi Islam, upaya lain yang dilakukan untuk mencapai keadilan distribusi harta adalah keadilan dalam penyaluran zakat. Keadilan dalam penyaluran zakat merupakan bagian dari bentuk tanggungjawab sosial, sehingga hal ini harus diusahakan dan menjadi target bagi institusi zakat. Keadilan dalam penyaluran zakat merupakan tanggung jawab yang sangat mendasar dan paling utama yang harus dilakukan amil di setiap institusi zakat. Dalam hal penyaluran zakat, adil berarti mampu memprioritaskan kebutuhan mustahiq yang ada, sehingga amil harus mengetahui mustahiq yang ada.
Seperti yang dinyatakan oleh Wahbah Al-Zukhaeli yang dikutip dari Muhammad Farid, yang dimaksud dengan Amil adalah orang yang berusaha atau bekerja untuk mengumplkan zakat. Karena beberapa orang memiliki harta yang harus dizakat, tetapi mereka tidak melakukan atau tidak memahami kewajiban mereka, dan beberapa orang bakhil. Oleh karena itu, wajib bagi imam untuk menunjuk seseorang untuk mengumpulkan atau mengambil zakat. Seorang laki-laki dari bani Makhzum diberi kuasa oleh Rasul SAW untuk memberi zakat, menurut Hadist Abu Daud dari Rafi.
Pada akhirnya, keadilan dalam penyaluran zakat akan menarik perhatian muzakki dan mendorong mereka untuk berzakat melalui institusi. Keadilan dalam penyaluran zakat juga dapat meningkatkan kepercayaan kognitif muzakki,yang pada gilirannya akan meningkatkan kepercayaan mereka untuk membuat keputusan yang logis tentang institusi zakat.
Menurut Masdar Farid Mas'udi, yang dikutip dari Wiwik Damayanti, pemikiran dan praktik zakat umat islam secara bertahap ditandai oleh tiga kelemahan dasar yang saling terkait. Pertama, kelemahan filosofis atau epistemologisnya. Kedua, kelemahan kelembagaan dan strukturalnya. Ketiga, pengelolaan operasinya.
Salah satu cara muzakki menilai kredibilitas institusi zakat adalah dengan melihat keadilan dalam penyaluran zakat. Penilaian kredibilitas ini sangat penting karena dapat mempengaruhi tingkat kepatuhan dan kepercayaan muzakki. Seorang muzakki akan dipengaruhi oleh tiga komponen yang mendukung niatnya: penilaian diri tentang sikap yang akan diambil, pandangan tentang lingkungan sosial, dan keyakinan tentang tindakan yang akan diambil. Pada tahap penilaian diri, muzakki akan mempertimbangkan baik buruk saat memutuskan untuk memberikan zakat kepada individu atau institusi zakat. Muzakki tidak akan membayar zakat mereka melalui instiitusi jika mereka tidak percaya cara zakat disalurkan. Keadilan sangat penting dalam membangun kepercayaan dan kepatuhan muzakki untuk membayar zakatnya melalui institusi zakat; sebagai hasilnya, keadilan menyalurkan minat dan kepercayaan muzakki pada institusi zakat dengan cara yang positif.
Terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi untuk pelaksanaan zakat yang berhasil di masa kini, terutama jika dikelola oleh lembaga atau yayasan. Syarat pertama untuk mencapai tujuan dan efek positif zakat adalah berpedoman pada teori ulama yang memperluas kewajiban zakat. Syarat kedua adalah menarik zakat dari harta yang lahir dan batin. Harta lahir adalah harta yang dimiliki oleh orang lain dan dihutang; harta batin adalah uang dan harta yang tercantum dalam hukum. Syarat ketiga adalah sistem pengumpulan dan pembagian zakat yang baik. Syarat keempat adalah pembagian zakat secara adil dan menegakkan di atas asas yang benar.
Betul dalam memilih amil zakat dengan mempertimbangkan persyaratan yang digariskan oleh para fuqaha (ulama ahli fiqih) tentang amil. Ini berarti bahwa mereka harus beragama Islam, mahir dalam bekerja, memiliki pengetahuan, dan jujur. Seorang amil zakat harus adil dan hanya mengharapkan keridhahan Allah SWT. Mereka juga harus mempunyai sifat iffah, yaitu menghindari semua yang haram, terlepas dari ukurannya. Karena harta zakat adalah hak para fakir miskin dan mustahik lainnya, pegawai zakat tidak memiliki hak apapun selain jumlah yang telah ditetapkan sebagai kompensasi atas pekerjaan mereka.
Sederhana dalam mengolah zakat, yang berarti mempersederhanakan dana seminimal mungkin, berarti menghindari sikap yang sulit dan mengada-ada serta terlibat dalam masalah lahir dengan meringankan sesuatu yang menghasilkan peningkatan dana. Hal ini akan cukup sederhana dan cepat untuk mencapai tujuan.
Masdar menyatakan bahwa apa yang pernah dilakukan Rosulullah terdiri dari unsur-unsur tasysri' dalam tingkat yang berbeda-beda dalam kaitannya dengan tujuan moral dan etis zakat, yaitu keadilan dan kesejahteraan bagi semua. Ada unsur-unsur yang bersifat strategis dan ada yang bersifat taktis, sehingga hanya sesuai dengan konteks sosial tertentu.
Dengan menejemen zakat secara adil dan menegakkan di atas azas yang benar, sehingga zakat tidak diterima oleh orang mustahik tetapi diterima oleh orang yang tidak berhak. Atau, salah satu mustahik menerima sesuatu yang tidak memadai, sedangkan yang lain menerima yang terbaik. Akibatnya, mustahik tersebut sangat membutuhkan perbaikan.
Yusuf Al Qordhowi, yang dikutip oleh Wiwik Damayanti, mengatakan bahwa zakat tidak dibagikan kepada setiap orang yang memintanya, orang yang mengaku fakir miskin, atau orang yang mengaku sebagai gharimin, ibnu sabil, atau mujtahid fisabilillah. Namun, dalam setiap pembagian zakat, harus diperhatikan orang yang berhak menerimanya melalui orang yang dikenal adil di daerah setempat, dengan mempertimbangkan keadaan dan kondisi.
Salah satu tanggung jawab penting Lembaga Pengelola Zakat adalah menyebarkan informasi tentang zakat pada masyarakat muslim secara teratur dan berkelanjutan melalui berbagai media dan forum. Dengan sosialisasi yang efektif dan optimal, diharapkan masyarakat muzakki akan semakin sadar bahwa mereka harus membayar zakat melalui lembaga zakat yang kuat, amanah, dan terpercaya.
Komentar
Posting Komentar