AHLI WARIS DALAM ISLAM

 


      Ahli waris adalah orang atau pihak yang berhak menerima harta atau aset seseorang yang telah meninggal dunia. Pengertian ahli waris berhubungan erat dengan hukum warisan atau hukum pewarisan, yang berbeda-beda berdasarkan hukum negara masing-masing. Ahli waris adalah orang yang berhak mewaris karena hubungan kekerabatan (nasab) atau hubungan perkawinan (nikah) dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris. Ahli waris adalah orang yang akan mewarisi/menerima harta peninggalan. 

    Ahli waris dalam Pasal 171 huruf (c) Kompilasi Hukum Islam menjadikan matinya ahli waris (bukan pewaris) sebagai batas kapan seseorang menjadi atau berstatus sebagai ahli waris dari seorang pewaris. Konsekuensi maknanya adalah bahwa orang yang telah meninggal dunia, lebih dahulu sekalipun, asalkan mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris, maka dia adalah ahli waris.

Dari uraian tersebut, maka dapat ditarik suatu kesimpualan, yaitu :

1.     Ahli waris dalam kompilasi hukum islam (KHI), dapat mewarisi apabila mempunyai sebab dan memenuhi syarat-syarat.

a.     Sebab-sebabnya adalah:

a) Mempunyai hubungan nazab atau hubungan darah

b) Mempunyai hubungan perkawinan.

 b.   Syarat-syaratnya adalah:

a) Ahli waris hidupnya disaat pewaris meninggal dunia.

b) Beragama islam

c) Tidak mempunyai halangan-halangan mewarisi[3].

Di banyak negara, termasuk Indonesia, ahli waris biasanya diatur oleh hukum perdata atau hukum keluarga. Berikut adalah beberapa konsep umum dalam pengertian ahli waris:

1.     Keturunan Langsung: Ahli waris biasanya mencakup keturunan langsung dari orang yang meninggal, seperti anak-anak, cucu, atau keturunan yang lain.

2.     Pasangan Hidup: Pasangan yang sah menurut hukum juga sering dianggap sebagai ahli waris, dan mereka memiliki hak atas warisan suami atau istri yang telah meninggal.

3.     Orang Tua: Dalam beberapa kasus, orang tua atau orang tua angkat bisa menjadi ahli waris, terutama jika tidak ada keturunan langsung atau pasangan hidup yang masih hidup.

4.     Saudara Kandung: Saudara kandung atau saudara tiri juga bisa menjadi ahli waris, terutama jika tidak ada keturunan atau pasangan yang masih hidup.

5.     Pengaturan Hukum: Hukum setiap negara dapat memiliki aturan yang berbeda tentang siapa yang dianggap sebagai ahli waris, seberapa besar bagian warisan yang mereka terima, dan urutan prioritas jika ada beberapa ahli waris.

6.     Wasiat: Orang yang meninggal mungkin telah membuat wasiat atau testamen, yang dapat mengubah distribusi warisan sesuai dengan keinginan mereka. Ahli waris yang diatur dalam wasiat memiliki hak atas bagian sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam dokumen tersebut.

     Penting untuk dicatat bahwa pengaturan hukum mengenai ahli waris dapat sangat bervariasi dari satu negara ke negara lainnya, dan aturan hukum ini dapat diubah oleh perubahan hukum atau kebijakan pemerintah setempat. Jika Anda memiliki pertanyaan khusus tentang hukum warisan atau ahli waris di negara Anda, sebaiknya berkonsultasi dengan seorang ahli hukum atau notaris yang berpengalaman untuk mendapatkan informasi yang akurat dan sesuai dengan situasi hukum Anda.

     Terkait dengan hukum kewarisan Islam, ada lima asas yang berkaitan dengan sifat peralihan harta kepada ahli waris, cara pemilikan harta oleh yang menerima, jumlah harta yang diterima dan waktu terjadinya peralihan harta tersebut, yaitu:

1.     Ijbari

     Peralihan harta dari seseorang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya berlaku dengan sendirinya menurut kehendak Allah tanpa tergantung kepada kehendak dari pewaris atau permintaan dari ahli warisnya. Asas ijbari ini tercantum dalam surat AnNisa ayat 7. Adanya asas Ijbari dalam sistem kewarisan Islam tidak akan memberatkan orang yang akan menerima waris, karena ahli waris hanya menerima harta dan tidak ada kewajiban memikul utang yang ditinggalkan oleh pewaris.

2.     Bilateral

     Harta warisan beralih kepada ahli warisnya melalui dua arah. Dalam asas bilateral ini setiap orang menerima hak kewarisan dari kedua belah pihak yaitu dari keturunan laki laki dan keturunan perempuan. Dengan adanya asas bilateral ini maka menegaskan bahwa jenis kelamin bukan merupakan penghalang untuk mewaris atau diwarisi. Asas bilateral ini dapat ditemukan dalam surat An-Nisa ayat 7, 11, 12 dan 176.

Dalam ayat 11 ditegaskan:

a.     Anak perempuan berhak menerima warisan dari kedua orang tuanya sebagaimana yang didapat oleh anak laki-laki dengan bandingan seseorang anak laki-laki menerima sebanyak yang didapat dua orang anak perempuan.

b.     Ibu berhak mendapatkan warisan dari anaknya, baik laki-laki maupun perempuan. Begitu pula ayah sebagai ahli waris laki-laki berhak menerima warisan dari anakanaknya, baik laki-laki, maupun perempuan sebesar seperenam bagian, bila pewaris ada meninggalkan anak.

Dalam ayat 12 ditegaskan:

a.     Bila pewaris adalah seseorang laki-laki yang tidak memiliki pewaris langsung (anak/ayah), maka saudara laki-laki dan atau perempuannya berhak menerima bagian dari harta tersebut.

b.     Bila pewaris adalah seseorang perempuan yang tidak memiliki pewaris langsung (anak/ayah), maka saudara yang laki-laki dan atau perempuannya berhak menerima harta tersebut.

Dalam ayat 176 ditegaskan:

a.     Seseorang laki-laki tidak mempunyai keturunan (keatas dan kebawah sedangkan ia mempunyai saudara laki-laki dan perempuan, maka saudara-saudaranya itu berhak menerima warisannya.

b.     Seseorang perempuan yang tidak mempunyai keturunan (keatas dan kebawah) sedangkan dia mempunyai saudara laki-laki maupun perempuan, maka saudarasaudaranya itu berhak mendapatkan warisannya.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

HISTORIOGRAFI NASIONAL INDONESIA

KONSEP KEADILAN SOSIAL DALAM KASUS ZAKAT DI MASYARAKAT MUSLIM