HISTORIOGRAFI NASIONAL INDONESIA
Ada beberapa gaya yang dominan dalam perkembangan historiografi Indonesia, seperti historiografi tradisional, historiografi kolonial, historiografi nasional, historiografi modern atau kontemporer. Historiografi tradisional mendominasi perkembangan penulisan sejarah. Sebagai ekspresi kesadaran sejarah nasional, corak sejarah tradisional muncul sebelum adanya kesadaran nasional. Gaya ini mendominasi penulisan babad, lontara, hikayat, tambo, silsilah, dan lain-lain. Historiografi tradisional memiliki nilai sejarah yang berbeda karena mengandung campuran unsur-unsur mitologi sejarah dan banyak anakronisme, sehingga perlu dipisahkan antara “puisi dan kebenaran”. Apalagi historiografi tradisional memiliki orientasi etnis kultural (yaitu historiografi modern) juga memiliki sifat simbolik. Artinya, di balik apa yang diungkapkan secara terbuka terdapat makna atau pesan budaya yang sebenarnya ingin disampaikan. Peristiwa tertentu, terkadang ajaib, dapat menceritakan sebuah kisah.
Historiografi tradisional sering membantu kita memperbarui pandangan dunia kita. Historiografi tradisional cenderung mengaburkan dua perangkat realitas sejarah: realitas objektif tentang apa yang sebenarnya terjadi dan realitas berupa persepsi budaya kolektif. Sebagian besar sejarah ini melibatkan perbuatan yang dilakukan oleh dewa daripada oleh manusia. Pada umumnya historiografi ini mencari informasi tentang hal-hal di luar sejarah, dan sebab akibat bukanlah rangkaian peristiwa, melainkan terdapat pada peristiwa dan kejadian yang selalu menitikberatkan pada mitologi. Dengan kata lain, peristiwa manusia diatur oleh kekuatan supernatural yang tidak diatur oleh tindakan atau motivasi manusia itu sendiri.
Hal lain yang menonjol dalam historiografi tradisional adalah bahwa semua peristiwa berputar di sekitar kerajaan yang berpusat pada raja, dan apa yang terjadi di luar, seperti hikayat pasai atau hikayat perang sabil, jarang disebutkan. Hikyat Aceh menarik karena memiliki beberapa pengaruh Hindu tetapi memiliki beberapa unsur Islam yang dilapis dalam cerita-ceritanya. Seperti yang dikisahkan dalam hikayat, suatu malam raja bermimpi dengan Nabi Muhammad. Dia mengajarinya membaca Syahadat. Isinya dibagi menjadi dua bagian. Pertama, berisi saran-saran untuk peperangan yang stabil dengan menunjukkan imbalan, manfaat, dan kebahagiaan yang dicapai. Kedua, memuat tokoh dan berita tentang situasi perang yang harus disebarluaskan kepada masyarakat untuk menggugah semangat umat Islam dalam berjihad. Sebagaimana dikemukakan Taufik Abdullah sebelumnya, Hikayat Aceh dan sejarah Melayu merupakan historiografi tradisional yang dikenal di dunia Islam-Melayu karena banyak mengandung unsur keislaman dalam narasinya.
Menurut Taufik Abdullah, Historiografi yang diciptakan secara komunal adalah ekspresi budaya masyarakat yang menciptakan sejarah. Refleksi ini dapat ditemukan dalam historiografi tradisional dan dapat digunakan sebagai alat untuk memahami pola historis orang percaya. Kesadaran sejarah tidak menunjukan perbedaan besar antara historiografi tradisional seperti babad, hikayat, dan tambo, dan historiografi modern. Tidak mudah untuk mengatakan ada, terdapat beberapa poin penting yang membedakan kedua jenis historiografi ini, seperti gaya dan metodologi, kepastian sejarah adalah kriteria terpenting bagi historiografi medern.
Dalam historiografi tradisional, unsur mitologis mendominasi dalam penulisan. Karena mitologi tidak memiliki unsur waktu atau kronologi, tidak ada diwaktu awal maupun waktu akhir. Gaya penulisan tradisional cerita warisongo Jawa yang digambarkan memiliki kesaktian (kekuatan gaib di luar manusia), tidak menekankan fakta tentang penyebaran Islam di Jawa. Sejarah Melayu juga cenderung menulis sejarah dengan menyamarkan mitos dan fakta. Diluar cangkupan penguatan status dinasti sebagai pusat kekuasaan, yang sering disebut sebagai Rajasentrisme. Kronologi dalam historiografi tradisional yang lebih baru adalah kuncup sejarah yang berpusat pada tindakan manusia.
Dalam hal ini, apa yang penting bagi narasi sejarah mulai muncul: batas waktu dan perjalanan peristiwa. Historiografi tradisional menunjukkan peningkatan historisitas dan kronologi dalam beberapa tahun terakhir perkembangannya, namun jenis historiografi ini belum mampu berkembang seperti yang terjadi di dunia Barat. . Kredibilitas, atau tingkat kepercayaan yang dapat diberikan pada gaya sejarah tradisional, ditentukan oleh persepsi budaya pembaca.
Pada awal abad ke-16, bangsa Barat mulai menguasai wilayah Indonesia. Hal ini memicu terjadinya akulturasi silang yang sudah ada dan budaya bangsa Barat. Akulturasi budaya yang terjadi secara langsung mempengaruhi historiografi Indonesia. Isu-isu yang ditulis dalam historiografi tradisional yang berfokus terutama pada lingkungan kerajaan kemudian bergeser di abad ini ke isu-isu kekuasaan, atau hubungan, konsekuensi hubungan, atau kekuasaan negara Barat itu sendiri. Penulisan sejah di abadi sekarang sering disebut dengan historiografi kolonial. Penekanan fokus penulisan pada peran Belanda di negara lain. Peran Belanda dalam historiografi kolonial lebih menekankan pada aspek politik, ekonomi dan kelembagaan. Dimensi politik dapat dilihat misalnya pada tulisan-tulisan kaum kolonialis (Belanda). Para penjajah lebih menekankan pada dimensi politik, mengubah pejuang Indonesia menjadi pemberontak, aksi militer, bahkan kerusuhan. Laporan ala sejarah kolonial tentang peristiwa politik dan militer seputar VOC dan pemerintah kolonial, tidak lagi menekankan peran orang Indonesia.
Aspek politik lain dari historiografi kolonial terlihat dalam penulisan Babad Gyanti, perebutan kekuasaan yang menyebabkan negara Jawa terbelah dua, di bawah kekuasaan Susuhunan dan Sultan. Selain aspek politik, Anda juga bisa menelusuri kisah Babat Thana Jawi yang melahirkan dongeng dan akulturasi dan sinkretisme, Islam dan Hindu. Misalnya, kisah perjalanan Belanda yang dilakukan oleh orang Belanda sendiri Ciri historiografi kolonial lainnya adalah bahwa orang tidak memainkan peran yang selayaknya. Raja Centric menonjolkan peran kerajaan dengan tokoh pendiri Belanda. Tokoh-tokoh Indonesia yang berpenampilan dramatis berperan sebagai figuran atau pelengkap cerita yang ditulis dalam historiografi kolonial. Meski situasinya berbeda dengan gaya penulisan sejarah tradisional yang banyak mengandung unsur mitos, pada historiografi kolonial mulai kehilangan unsur mitosnya. Gaya historiografi kolonial ini sangat dominan pada masa penjajahan Belanda. Namun, menurut Muhammad Ali, ``Catatan sejarah Indonesia yang ditulis oleh Belanda lebih tepat disebut sebagai sejarah Belanda di Indonesia.”
Historiografi kolonial membangkitkan kesadaran akan sejarah bangsa Indonesia pra-kemerdekaan. Hal ini mempengaruhi historiografi Indonesia yang sebelumnya lebih Barat (kolonial) dan kemudian menjadi lebih nasional. Penolakan revitalisasi catatan sejarah masa kolonial menyebabkan kesadaran sejarah meningkat, di satu sisi sebagai resonansi persepsi kehidupan politik, dan di sisi lain sebagai ekspresi dari keinginan nasional untuk menemukan kembali identitasnya. Sejarah nasional terlepas dari kesadaran ideologis dan kepentingan intelektual. Sejarah nasional dengan demikian merupakan catatan peristiwa masa lalu yang dianggap (berdasarkan kesadaran ideologis) sebagai kepentingan dan relevansi nasional. Sebagai cerminan kesadaran budaya, penulisan sejarah nasional cenderung ke arah sejarah ideologis yang menyampaikan nilai-nilai nasionalisme, kepahlawanan, dan patriotisme. Dengan cara ini, historiografi nasional menghadirkan sikap perlawanan terhadap kolonialisme Barat.
Dalam sejarah nasional, hubungan antara sejarawan dan masyarakat tampak akrab. Hal ini tercermin dari antusiasme yang besar dari para sejarawan untuk menguraikan masa lalu secara lebih rinci. Hubungan emosional mereka hingga saat ini ditopang oleh semangat nasionalisme yang melingkupi para sejarawan. Ketika nasionalisme meningkat, pencarian jawaban kurang introspektif, tetapi sebagian besar upaya mengambil bentuk historiografi nasionalis dan tulisan-tulisan mani tentang mitologi nasional, mitos politik, mitos 350 tahun pemerintahan kolonial Belanda, atau mitos Soeharto sebagai bapak negara. Perkembangan. Mitos sebagai alat masyarakat untuk berhubungan dengan masa lalu, masa kini dan masa depan, ya, mitos juga digunakan sebagai alat untuk melegitimasi kekuasaan. Hal ini terlihat pada era Orde Baru yang dikondisikan oleh mitologi dalam penulisan sejarah nasional Indonesia.
Sejak tahun 1957 ketika Seminar Nasional Sejarah Indonesia diselenggarakan di Yogyakarta, sejarah terus berkembang. Peristiwa ini dianggap sebagai zaman historiografi modern dan titik awal kesadaran sejarah baru. Pada tahun 1960-an, historiografi ideologis telah menjadi ciri historiografi Indonesia. Di sisi lain, pada 1970-an, ada kesadaran di kalangan sejarawan yang menekankan peran sejarah Indonesia dalam historiografi Indonesia. Sejarawan profesional membuat terobosan baru dalam sejarah sains. Hal ini dilakukan dengan merumuskan isu-isu tematik dan fundamental dengan sikap kritis terhadap sumber. Sejarah tidak lagi ditulis atas dasar ideologi atau politik, tetapi menyusup ke dalam tema-tema sejarah lain dalam penulisan sejarah kritis. Dalam historiografi modern, ada pendekatan baru lainnya untuk menilai peristiwa sejarah. Seperti yang terjadi pada masa Orde Baru, kredibilitas sumber diperhatikan, bukan hanya tulisan, yang merupakan perintah dari penguasa.
Penulis Gustama Prajodi

Komentar
Posting Komentar